Korowai, Suku Primitif Di Pojok Indonesia
Tanah Papua memang menyimpan sejuta pesona yang sangat menakjubkan. Selain hutan rimbanya yang masih misterius, budaya yang masih tersebunyi di kedalaman hutan belantara juga sangat menawan. Selain flora dan fauna yang masih lestari di tambah panorama alam yang sedap untuk di pandang, Bumi Cendrawasih juga banyak menyimpan keunikan yang tidak banyak di ketahui orang.
Selain keindahan dan kekayaan alamnya, Tanah Papua juga memiliki suku-suku yang sangat menarik. Salah satunya adalah Suku Korowoi, Suku Primitif Di Pojok Indonesia.
Suku Korowai adalah suku primitif di pojok Indonesia. Keberadaan mereka masih sangat terisolasi dari peradaban modern Mereka banyak memiliki kebiasaan aneh dan beberapa dari mereka masih ada yang kanibal. Mereka di temukan sekitar tahun 1970 di pedalaman Pulau Papua, Indonesia. Dengan populasi penduduknya sekitar 4000 orang, suku ini hidup di rumah yang di bangun di atas pohon yang di sebut Rumah Tinggi. Beberapa dari rumah mereka bahkan ada yang mencapai ketinggian 50 meter dari permukaan tanah. Rumah pohon ini di lengkapi dengan sebatang pohon portable yang membantu mereka untuk naik ke atas rumah. Setiap rumah pohon di desain dengan interior rectangular yang membagi rumah tersebut menjadi dua atau tiga ruangan di dalam rumah. Rumah pohon ini sekitnya dapat di tinggali oleh dua orang dewasa. Rumah pohon ini juga di lengkapi oleh sebuah tempat untuk meletakan api.
Ada tiga alasan kenapa Suku Korowoi tinggal di rumah pohon. Pertama akan lebih aman bila ada serangan dari musuh. Kedua akan lebih mudah untuk mengawasi hewan buruan mereka seperti babi hutan yang selalu berkeliaran dibawah rumah mereka sehingga akan lebih mudah membidik buruan dari atas pohon dengan menggunakan panah. Ketiga, merupakan warisan turun temurun sehingga mereka nyaman tinggal di sana. Suku ini tidak menggunakan koteka seperti yang di gunakan oleh sebagian besar suku-suku di papua.
Suku Korowoi tinggal di pedalaman Kouh, Meraouke, Papua, Mereka hidup di sepanjang aliran sungai Eilanden dan Becking. Bagian hulu sungai Becking, dibagian rawa dan dibagian hutan hujan yang terdapat di area pegunungan sekitar perbatasan Papua Nugini. Suku Korowoi tidak mengetahui keberadaan dunia luar selain kelompoknya sendiri hingga tahun 1970 saat mereka di temukan.
Selain keindahan dan kekayaan alamnya, Tanah Papua juga memiliki suku-suku yang sangat menarik. Salah satunya adalah Suku Korowoi, Suku Primitif Di Pojok Indonesia.
Suku Korowai adalah suku primitif di pojok Indonesia. Keberadaan mereka masih sangat terisolasi dari peradaban modern Mereka banyak memiliki kebiasaan aneh dan beberapa dari mereka masih ada yang kanibal. Mereka di temukan sekitar tahun 1970 di pedalaman Pulau Papua, Indonesia. Dengan populasi penduduknya sekitar 4000 orang, suku ini hidup di rumah yang di bangun di atas pohon yang di sebut Rumah Tinggi. Beberapa dari rumah mereka bahkan ada yang mencapai ketinggian 50 meter dari permukaan tanah. Rumah pohon ini di lengkapi dengan sebatang pohon portable yang membantu mereka untuk naik ke atas rumah. Setiap rumah pohon di desain dengan interior rectangular yang membagi rumah tersebut menjadi dua atau tiga ruangan di dalam rumah. Rumah pohon ini sekitnya dapat di tinggali oleh dua orang dewasa. Rumah pohon ini juga di lengkapi oleh sebuah tempat untuk meletakan api.
Ada tiga alasan kenapa Suku Korowoi tinggal di rumah pohon. Pertama akan lebih aman bila ada serangan dari musuh. Kedua akan lebih mudah untuk mengawasi hewan buruan mereka seperti babi hutan yang selalu berkeliaran dibawah rumah mereka sehingga akan lebih mudah membidik buruan dari atas pohon dengan menggunakan panah. Ketiga, merupakan warisan turun temurun sehingga mereka nyaman tinggal di sana. Suku ini tidak menggunakan koteka seperti yang di gunakan oleh sebagian besar suku-suku di papua.
Suku Korowoi tinggal di pedalaman Kouh, Meraouke, Papua, Mereka hidup di sepanjang aliran sungai Eilanden dan Becking. Bagian hulu sungai Becking, dibagian rawa dan dibagian hutan hujan yang terdapat di area pegunungan sekitar perbatasan Papua Nugini. Suku Korowoi tidak mengetahui keberadaan dunia luar selain kelompoknya sendiri hingga tahun 1970 saat mereka di temukan.
Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Awyu-Dumut (Papua Tenggara) dan merupakan bagian dari filum Trans-Nugini. Mereka hidup dalam klan-klan yang di pimpin oleh seorang kepala suku (Nati).
Yang menarik kita tela’ah adalah persepsi orang-orang seperti kita, yang sudah merasa berperadaban lebih tinggi dari mereka dan yang memadang mereka bahkan terbelakang. Coba kita simak ini, Tidak ada rumah sakit disana, karena mereka memang manusia-manusia yang super kuat, alias telah menyatu dengan alam. Jadi tidak ada alasan kalau alam menyebabkan penyakit kepada mereka. Malah sebaliknya, Alam adalah sumber kehidupan dan kesehatan yang langsung mereka rasakan. Karena kesadaran akan fungsi-fungsi alam sangat mereka jaga, supaya bisa survive. Mereka tidak perlu lumbung untuk menyimpan makanan, karena alam mereka telah menyiapkannya dengan sangat sempurna dalam suatu proses evolusi eko system. Karena itu, mereka menjaga secara sadar akan kelestarian sumber daya alam tersebut dengan membuat norma-norma pengelolaan sumber daya alam yang efektif, termasuk regenarasi sumber-sumber makanan mereka seperti menanam pohon sagu.. Tidak boleh menebang jenis pohon tertentu. Tidak boleh menangkap ikan di sungai-sungai dengan zat beracun, kecuali dengan busur atau dengan alat pancing biasa. Sangat melarang menangkap burung Cendrawasih, termasuk berburu babi dengan jenis kelamin tertentu dan umur-umur tertentu dst.Tidak ada radio, televisi atau media film hiburan lainnya. Mereka hanya menikmati tiupan angin yang menghempas daun-daun pepohonan. Kiciuan symphotni suara-ruara burung bernyanyi-nyanyi, melantukan lagu alam khas korowai, dinikmatinya sebagai bagian dari properrti kehidupan sehari-hari. Adat yg tumbuh antar suku, menjadi konvensi masing-masing, yaitu tidak boleh merusak wilayah adat dan geografis otoritasnya mereka. Pelanggaran adat bisa saja berkorban jiwa manusia atau tebusan dengan babi-babi, Kebanggaan akan banyaknya jumlah anggota suku menjadi proudness tersendiri, sehinggga banyak istri dan anak menjadi value tersendiri dalam sistem sosial korowai. Yang menarik memilih istri-istri baru, bukan karena kencatikannya, tetapi karena keterampilan mencari bahan makanan atau keahlian hidup lainya yang menyebabkan seorang lelaki menjatuhkan pilihan kepada seorang wanita untuk di kawininya.
Perkiraan sementara disana terdapat sekitar 50 klan yang terdaftar berdasarkan nama, Survei yang di lakukan pada tahun 1986 - 1990 dengan menggunakan helikopter berhasil mengetimasi jumlah sementara penduduk asli yang berbicara dalam bahasa Korowoi sekitar 4.000 orang . Lebih dari 70% masih tinggal di daerah asal mereka. Sedangkan 30% lainnya
sejak tahun 1980 sebagian telah pindah ke desa-desa yang baru di buka dari Yanimura di tepi sungai Becking (area komboi-korowoi), Mu dan Kasman (daerah korowoi-citak). Pada tahun 1987 dibuka desa di Manggel, di Yafufla (1988), Mabul di tepi sungai Eilanden (1989) dan Khaiflambolup (1998). Tingkat absensi desa masih tinggi, karena relatif panjang jarak antara pemukiman dengan sumber daya makanan (sagu).
Pada tahun 1995 seorang Photografer terkenal asal Amerika Serikat , George Steinmetz pernah mendatangi kampung Suku Korowoi untuk mendokumentasikannya. Beberapa karyanya di masukkan dalam majalah The New Yorker dan majalah National Geographic. Inilah beberapa dari hasil photo jepretannya.
Dari berbagai sumber
Pada tahun 1995 seorang Photografer terkenal asal Amerika Serikat , George Steinmetz pernah mendatangi kampung Suku Korowoi untuk mendokumentasikannya. Beberapa karyanya di masukkan dalam majalah The New Yorker dan majalah National Geographic. Inilah beberapa dari hasil photo jepretannya.
Video Mengenal Lebih Dekat Dengan Suku Korowai
Dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment